Tidak Bisa Dibatasi & Dikurangi Kebebasan Berpendapat saat Pandemi Covid-19 Ketua Mahutama
3 min read
Ketua Umum Masyarakat Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama), Aidul Faitriciada Azhari memberikan penjelasannya terkait kebebasan berpendapat di tengah pandemi Covid 19. Hal itu diungkapkan Aidul dalam Webinar Nasional bertajuk Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid 19, Senin (1/6/2020). Mulanya ia mengecam tindakan teror oleh oknum tertentu terhadap penyelenggaran diskusi ilmiah yang digelar oleh Constitusional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).
Apalagi, pelaku teror tersebut mencatut nama organisasi Muhammadiyah Klaten dalam ancamannya. Aidun mengatakan, kejadian itu menunjukkan situasi yang membahayakan bagi bangsa Indonesia. "Hanya karena pendapat kemudian berujung pada ancaman pembunuhan, ini satu hal yang saya lihat sangat membahayakan masa depan kita bersama," kata Aidun, seperti dikutip dari siaran langsung kanal YouTube Mahutama.
Aidun menjelaskan, kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara sebenarnya sudah diatur dalam Undang undang Dasar (UUD) 1945. Seperti pada amandemen UUD 1945 Pasal 28 E Ayat 3 yang menyebut, setiap orang berhak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat. Kemudian Pasal 28 I Ayat 1 yang menyebut, bahwa hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Termasuk, lanjut Aidun, dalam konteks saat pandemi seperti sekarang ini. Menurut Aidun, dalam kehidupan di tengah pandemi Covid 19, kita banyak mengalami pembatasan hak. Seperti hak untuk bepergian serta hak untuk berkumpul.
Meski demikian, lanjut dia, hak untuk menyatakan pendapat tidak bisa dibatasi. "Tetapi dalam keadaan apapun, hak untuk menyatakan pendapat tidak bisa dikurangi, pikiran tidak bisa dibatasi, pikiran juga tidak bisa dipenjara dan tidak ada pengadilan terhadap pemikiran." "Semua orang boleh berpendapat pikiran hanya bisa dilawan dengan pikiran lagi, bukan dengan jeruji besi bukan dengan intimidasi bukan dengan represi."
"Dalam konteks ini sebenarnya kita harus melawan setiap hal atau setiap upaya yang berusaha membatasi pemikiran, membatasi pendapat," ungkap Aidun. Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Din Syamsuddin menjelaskan makna dari sebuah kebebasan berpendapat. Menyoal kebebasan berpendapat, Din menjelaskannya dari perspektif Islam dan pemikiran politik Islam.
Iamengatakan, terkait kebebasan berpendapat, para ulama memahaminya sebagai salah sati dari tiga dimensi penting dari kebebasan. Sementara, lanjut dia, kebebasan itu adalah hak manusiawi dan hak makhluk. "Bahkan Sang Pencipta menyilahkan manusia mau beriman maupun tidak beriman, ini pangkal dari sebuah kebebasan," kata Din, seperti dikutip dari siaran langsung di kanal YouTube Mahutama.
Oleh karena itu, kata Din, kebebasan pada manusia ini dipandang sebagai seuatu yang melekat pada manusia itu sendiri. Dia menyebut, manusia memiliki kebebasan berkehendak dan berbuat. "Oleh karena itulah, ada yang memandang, seperti yang saya kutip dari Mohammad Abdul melihat atau menilai kebebasan itu sebagai sesuatu yang sakral dan transendental."
"Sebagai sesuatu yang suci dan melekat dengan fitrah kemanusiaan, manusia bebas walupun terbatas," kata Din. Lebih lanjut, Din menjelaskan, Abdul menilai kebebasan itu hanya bisa diaktualisasikan oleh manusia kalau manusia sudah melewati dua fase kehidupannya. Fase pertama adalah eksistensi, alamiah ketika manusia masih berada dalam masa jahiliah atau kebodohan.
Kedua, fase sosial atau komunal, ketika manusia sudah berbudaya dan berperadaban. Maka, lanjut Din, kebebasaan itu sesuatu yang tinggi. "Hanyalah pada manusia beradap ada kebebasan dan ada pemberian kebebasan."
"Tentu logika sebaliknya adalah tidak beradab kalau ada orang atau rezim yang ingin menghalang halangi apalagi meniadakan kebebasan itu," paparnya. Dari situ, menurut Din, para pemikir politik Islam kemudian melihat kebebasan menjadi tiga hal. Yakni kebebasan beragama, kebebasan berbicara serta kebebasan memilih dan dipilih.
Maka, kata Din, menyoal kebebasan berpendapat ini mempunyai landasan teologis dan filosifis yang kuat pada pemikiran Islam. "Oleh karena itu apa yang dirumuskan dalam sejarah peradaban manusia, seperti Magna Charta hingga Universal Declaration of Human Rights sangat memberikan ruang bagi kebebasan itu sendiri," terangnya. Begitu juga dengan Undang undang Dasar 1945, yang menurut Din, tokoh tokoh yang merumuskannya sangat paham tentang prinsip prinsip kebebasan yang ada dalam Islam dan dalam sejarah pemikiran Islam.
"Oleh karena itu, kita cenderung terganggu jika ada rezim yang cenderung otoriter represif dan anti kebebasan berpendapat," kata Din. Din menegaskan, kebebasan berpendapat tentu dilandasi norma norma, etika dan nilai yang disepakati. Selama berada dalam koridor dan lingkaran itu, maka itu adalah hak rakyat warga negara," tegasnya.