Pengelola Balai Sosial Bantah Telantarkan Puluhan Difabel di Jalanan Kota Bandung
2 min read
Pihak Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra(BRSPDSN) angkat bicara mengenai telantarnya 41 difabel netra dan kini tinggal di trotoar Jalan Pajajaran, Bandung. Telantarnya para difabel tersebut lantaran adanya pengosongan yang dilakukan lantaran berubahnya status Panti Sosial Bina Netra (PSBN)Wyata Gunamenjadi Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN). Kepala BRSPDSN Sudarsono mengatakan saat ini balai yang dipimpinnya dalam proses revitalisasi fungsional yang merupakan program nasional untuk mengoptimalkan peran balai balai rehabilitasi sosial milik pemerintah.
Tujuannya, masyarakat disabilitas diharapkan dapat diberdayakan dan berkiprah setelah mendapat pelayanan rehabilitasi sosial lanjut di balai rehabilitasi sosial. Selama ini, ada kesan bahwa balai rehabilitasi sosial seperti penampungan bagi disabilitas. Padahal menurutnya, fungsi balai lebih dari itu.
Yakni diharapkan dapat mendorong kaum disabilitas berdaya sesuai dengan bidangnya. "Kita ada program transformasi perubahan status panti menjadi balai. Kita ingin balai rehabilitasi sosial ini berkontribusi secara progresif. Jadi pijakan bagi saudara saudara kita kaum disabilitas agar dapat mengembangkan keberfungsian sosialnya dan kapabilitas sosialnya sehingga bisa berkiprah di masyarakat,” ujar Sudarsono dalam pernyataannya, Kamis(16/1/2020). Salah satu konsekuensi dari transformasi tersebut, adalah adanya batas waktu bagi para penerima manfaat sesuai dengan yang ketentuan.
Tujuannya, agar para penerima manfaat dapat berkumpul kembali dengan keluarganya, mandiri serta berkiprah di masyarakat. “Ini yang kita sebut dengan proses inklusi. Kita ingin, saudara saudara kita diterima di masyarakat. Seperti yang lainnya,” ujar Sudarsono. Kendati demikian, pemberlakuan ketentuan mengembalikan penerima manfaat kepada keluarga atau ke masyarakat, tidak dilakukan seketika.
Tapi melalui proses proses yang panjang. Selama di balai, mereka diberikan pelatihan dan layanan yang holistik, sistematis dan terstandar. Sehingga ketika kembali ke masyarakat, mereka mandiri. Polemik yang terjadi di Wyata Guna, sebetulnya sudah diproses secara bijaksana sejak tahun 2019. Pengelola balai, bahkan telah memberikan toleransi kepada para penerima manfaat hingga bulan Juli.
Di mana mereka seharusnya meninggalkan balai sejak Juni 2019. Pengelola balai juga sudah secara persuasif meminta penerima manfaat untuk berinisiatif mematuhi ketentuan, sebab, banyak penyandang disabilitas sensorik netra lainnya yang antre untuk masuk balai dan mendapatkan pelayanan. Selain itu, pada tanggal 12 Agustus 2019, Kementerian Sosial dan Pemprov Jawa Barat juga sudah rapat untuk mencari solusi bersama.
Salah satu keputusannya adalah, Dinas Pendidikan Jabar berkomitmen membangun sarana pendidikan berkebutuhan khusus dengan konsep boarding school yang dilengkapi asrama. Dinas Sosial Provinsi Jabar juga merencanakan pembangunan panti sosial yang melayani semua penyandang disabilitas termasuk sensorik netra. Pengembangan layanan terpadu nasional ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah meningkatkan pelayanan kepada penyandang disabilitas.
Sudarsono menyayangkan, di tengah proses peralihan dan komunikasi dengan Pemprov tersebut, mencuat isu yang justru kontraproduktif dengan langkah langkah pemerintah. “Kita duduk bersama, mencari solusi terbaik. Kita semua anak bangsa, tidak mungkinlah saling menegasi,” tutupnya. Sebelumnya ramai diberitakan, pemaksaan untuk mengosongkan asrama oleh pengelola Wyata Guna Bandung, membuat 41 difabel netra penghuni asmara tersebut terpaksa tinggal di trotoar Jalan Pajajaran.
Pengosongan paksa itu dilakukan karena berubahnya status Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna menjadi Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN).(Willy Widianto)